Sabtu, 24 Desember 2011

ISBD Assigmnet part 2 Masalah Budaya

Permasalahan Budaya, Konflik antara Suku Dayak dan Madura

Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik social antar masyarakat. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat. Seperti halnya konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, kesenjangan perlakuan  aparat hukum terhadap Suku Asli Dayak dan Suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam yang meledak dalam bentuk konflik-konflik.
Kebudayaan yang berbeda seringkali dijadikan dasar penyebab timbulnya suatu konflik pada masyarakat yang berbeda sosial budaya. Demikian juga yang terjadi pada konflik Dayak dan Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996 yaitu terjadinya kasus Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk Kabupaten Sambas), di KalimantanBarat. Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan mereka rendah, kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian sering kali ditemui kesalahpahaman di antara mereka.
Selain itu penyebab yang terjadi dalam masalah ini ialah; kurang diperhatikannya peranan masyarakat setempat dalam kegiatan perekonomian di wilayah mereka, sehingga timbul diskriminasi terhadap suku dayak sebagai suku asli setempat, di samping itu juga penyebab umum terjadinya konflik diatas dipicu oleh dipraktekannya tindak kekerasan baik dalam bentuk penganiyayaan maupun pembunuhan, hal ini didukung juga dengan lemahnya supremasi hokum dan penegakan Hak Asasi Manusia
            Akhirnya dapat kita ambil kesimpulan, bahwa problematika inti yang dihadapi oleh dua suku ini ialah, kurang mengenalnya mereka tentang Pendidikan Multikultural. Pendidikan Multikultural ialah: proses penanaman cara hidup untuk menghormati secara tulus dan toleran dalam keberagaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk.
Dengan diberikannya pendidikan multiKultural diharapkan adanya kelembutan mental bangsa dalam menghadapi konflik-konflik yang berbau suku antar golongan ras dan agama (SARA), sehingga persatuan bangsa tidak mudah retak dan terjadi disentrigasi bangsa.

ISBD Assigmnet Masalah sosial

Maraknya terjadi penggusuran di daerah perkotaan Indonesia


Penggusuran adalah pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tak langsung yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunakan sumber-daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha.
Penggusuran terjadi di wilayah urban, karena keterbatasan dan mahalnya lahan. Di wilayah rawanl penggusuran biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti misalnya bendungan, atau peusahaan-perusahaan besar.
Di kota besar, penggusuran kampung miskin menyebabkan rusaknya jaringan sosial pertetanggaan dan keluarga, merusak kestabilan kehidupan keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta melenyapkan aset kehidupan. Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki penghidupan. Dialog dan negosiasi dengan pihak atau masyarakat terkait dilakukan untuk menghindari penggusuran.Akan tetapi, penggusuran adalah hal yang mutlak untuk menanggulangi penduduk liar. Hal ini karenakan mereka sama sekali tidak membayar tanah. Dan mereka harus dipulangkan ke daerah asalnya, seperti transmigrasi.
Dari pelbagai macam penggusuran yang pernah dilakukan pemerintah di Jakarta, model penyelesaian dengan memulangkan ke kampung bagi warga yang tak punya KTP Jakarta, dan menempatkan ke rumah susun sewa (rusunawa) bagi yang punya KTP Jakarta, selalu dijadikan resep utama. Seperti misalnya pada akhir tahun 2007 lalu ketika terjadi penggusuran besar-besaran pemukiman rakyat miskin di kolong tol, Jakarta Utara. Mereka yang mempunyai KTP Jakarta diminta pindah ke rumah susun (rusun) Marunda dan Kapuk Muara, sedang yang tidak punya KTP Jakarta hanya diberi uang kerohiman dan diminta untuk pulang kampung. Tetapi apa akhirnya yang terjadi? Yang dipulangkan ke kampung kembali lagi ke Jakarta, sedang yang dipindahkan ke rumah susun banyak yang keluar dan kembali menempati wilayah-wilayah informal, bahkan ada yang kembali ke kolong tol.
Pemindahan warga miskin yang mengalami penggusuran ke rumah susun telah terbukti gagal dalam mengatasi masalah perumahan, dan secara umum juga gagal mengatasi masalah kemiskinan perkotaan. Beberapa kajian tentang rumah susun di Jakarta telah menyimpulkan bahwa banyak sekali rumah susun yang awalnya diperuntukkan bagi warga miskin, khususnya korban penggusuran, telah beralih penghuni. Peralihan penghuni tersebut disebabkan biaya sewa dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya yang tidak terjangkau oleh penghuni yang memang pendapatannya rendah dan tidak menentu. Faktor lain adalah jauhnya lokasi rusun dari tempat kerja selama ini, sebelum mengalami penggusuran. Padahal bagi rakyat miskin kota, kedekatan dengan tempat kerja menjadi faktor utama dalam memilih tempat tinggal. Jika pun tidak dekat, tempat tinggal tersebut bisa digunakan sebagai ruang produksi untuk mendapatkan penghasilan. Rumah atau tempat tinggal bagi rakyat miskin kota seringkali menjadi bagian dari usaha ekonomi, bagian dari siasat menghadapi kemiskinan. Sedangkan rumah susun seringkali tidak feasible bagi rakyat miskin kota yang bergelut dalam usaha ekonomi informal.
            Melihat betapa seriusnya akibat penggusuran dan belum memadainya penyelesaian yang dilakukan pemerintah selama ini, maka dapat kita analisis dan mengambil solusi alternative. Solusi alternatif tersebut harus berpegang pada prinsip-prinsip hak asasi manusia secara sosial, ekonomi, budaya dan teknis.
Secara garis besar, ada dua model penyelesaian bagi masalah penataan permukiman “kumuh” di sepanjang jalur kereta api Kota-Tanjung Priok-Pasar Senen, yakni penataan atau pemindahan. Dari dua model penyelesaian ini membutuhkan pemahaman yang komprehensif terhadap permukiman dan tentu saja warganya. Jika memungkinkan, penataan harus dijadikan pilihan utama. Bagaimana pun, dilihat secara ekonomi, sosial, dan budaya, ongkos penataan akan lebih murah dibandingkan pemindahan. Untuk itu perlu dilihat apa maksud dari penggusuran yang akan dilakukan, dan akan digunakan sebagai apa lahan bekas permukiman warga tersebut. Jika digunakan untuk menambah jalur atau track baru, perlu dilihat seberapa lebar lahan yang dibutuhkan. Juga apakah memang diperlukan pembuatan jalur baru itu. Jika memang dibutuhkan jalur baru, diupayakan tidak harus menggunakan semua lebar lahan yang ada, dan tetap memberi ruang bagi permukiman warga. Dengan demikian, pembuatan jalur baru kereta api dilakukan berbareng dengan penataan permukiman informal yang ditempati warga. Jika tujuan penggusuran tersebut memang sekedar menghilangkan kawasan kumuh di sepanjang jalur kereta, maka ini harus ditentang. Justru yang perlu dilakukan pemerintah adalah menata dan memberikan jaminan keamanan tinggal bagi warga di kawasan tersebut, sehingga kawasan tersebut menjadi permukiman yang layak.
Kalau tidak ada alternatif lain selain relokasi, maka pertama-tama yang perlu dilakukan adalah memilih lokasi yang dekat dengan kawasan sebelumnya. Hal ini untuk menghindari banyaknya warga yang kehilangan pekerjaan, dan anak-anak terganggu pendikannya karena persoalan akses atau biaya transportasi yang mahal. Relokasi yang dilakukan juga harus mengacu pada prinsip-prinsip perumahan yang layak lainnya seperti luasnya cukup dan penghuninya tidak terancam kesehatannya.
Yang menjadi prinsip utama dari semua penyelesaian yang diambil adalah adanya partisipasi penuh dari warga. Warga harus diikutkan dari semua proses atau tahapan, baik jika dilakukan penataan apalagi ketika harus dipindahkan, agar nantinya antara kemauan pemerintah dan keinginan warga, tidak ada yang dirugikan.

Presiden Indonesia dan dosanya atas Pancasila


PRESIDEN INDONESIA DAN PELANGGARANNYA ATAS “PANCASILA”


Kekuasaan kadang membuat seseorang lalai pada tujuan-tujuan kesetaraan dan keadilan yang dijunjung sebuah kelompok masyarakat; entah itu dalam cakupan kecil atau dalam lingkup negara. Di Indonesia, Pancasila sebagai dasar negara, sadar atau tidak, sering disimpangkan pemahamannya oleh penguasa negara. Berkaitan dengan hal ini, jika Syafruddin Prawiranegara dan Mr. Asaat tidak disebutkan sebagai presiden negara kita, entah kebetulan atau tidak, secara berurutan, lima presiden Indonesia “melanggar” Pancasila sesuai urutan zaman mereka berkuasa. Tentu dalam hal ini kita tidak bermaksud melecehkan mantan presiden, hanya sekadar guyonan.
Soekarno dan Sila Pertama

Soekarno, sang presiden pertama, sering dianggap menganggap sila pertama pula: Ketuhanan Yang Maha Esa. Demi stabilitas nasional, Soekarno menggabungkan tiga kekuatan terbesar bangsa Indonesia saat itu, yaitu Nasionalis, Agama, dan Komunis yang gabungannya disebut sebagai Nasakom.

Penggabungan kaum nasionalis, kaum agama, dan komunis, tidak disukai oleh Masyumi yang menganggap komunis identik dengan ateis. Pada masa itu, memang ada “doktrin” yang menyebutkan bahwa tidak mungkin umat Islam mampu bekerjasama (apalagi bersatu) dengan orang-orang yang tidak mempercayai Tuhan. Secara “kebetulan” pula, pada masa Orde Lama, umat Islam cenderung tertepikan. Ada beberapa oknum PKI yang menjelek-jelekkan Islam di tingkat bawah dan dibiarkan oleh Soekarno. Sementara itu, Soekarno juga membubarkan Masyumi, menangkapi para pemimpinnya yang dianggap terlibat dalam pemberontakan, dan cenderung “menganak-emaskan” PKI.

Dari sudut pandang ini, boleh dikesankan (tentu sebagai humor saja) bahwa Soekarno melanggar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Soeharto dan Sila Kedua

Pada masa Soeharto, PKI yang dahulu disayang penguasa, berbalik dikucilkan. Sejak perista G30S yang hingga sekarang tidak bisa dipastikan siapa otak utamanya, PKI dihitamkan dan bahkan terjadi pembantaian massal demi pemberantasan “komunis”.

Tidak hanya orang-orang PKI yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi. Umat Islam secara tidak langsung juga mendapatkan sikap “keras” dari pemerintahan Orde Baru. Misalnya, kemunculan teroris berkedok Islam yang konon sebenarnya dididik oleh intelijen. Tujuannya saat itu (kemungkinan) agar umat Islam tidak memilih PPP sebagai partai politik dan mengalihkan dukungan kepada Golongan Karya, organisasi yang bukan partai politik, tapi selalu memenangkan Pemilu semasa Orde Baru.

Di sisi lain, banyak kasus pembantaian atau tindakan kelewat tegas terhadap siapa pun yang berani mengangkat “senjata” terhadap negara, meski hanya kecil-kecilan. Misalnya, kasus Tanjung Priok yang salah satunya disebabkan oleh vokalnya para kyai mengkritik pemerintah. Ada juga pembantaian di Aceh ketika masa DOM dan di Timor Timur.

Alhasil, atas pelanggaran demi pelanggaran kemanusiaan yang terselubung pada masa Orde Baru, mungkin saja kita menyebut Soeharto melanggar sila kedua.
BJ Habibie dan Sila Ketiga

Agak aneh memang, B.J. Habibie ternyata secara kebetulan “melanggar” sila ketiga, Persatuan Indonesia. Pada kenyataannya, pada masa Habibie yang cuma 2 tahun, Indonesia kehilangan Timor Timur yang sekarang bernama Timor Leste. Habibie menggelar referendum yang ternyata mengindikasikan rakyat Timor Timur ingin merdeka.

Pada masa Habibie juga muncul perpecahan antarsuku atau antar kelompok dalam suatu daerah. Indonesia yang aman dan “diam” pada masa Soeharto, langsung bergejolak dan terancam persatuan dan kesatuannya. Gosipnya, kerusuhan demi kerusuhan ini diciptakan oleh “kemarahan agen rahasia” yang tidak puas atas jatuhnya Soeharto.
Abdurrahman Wahid dan Sila Keempat

Gus Dur bisa dibilang sebagai presiden yang paling demokratis. Pada masa Gus Dur yang cuma dua tahun, kebebasan rakyat benar-benar diperhatikan. Misalnya, tidak didiskriminasikannya lagi warga Indonesia keturunan Tionghoa. Namun, pada masa Gus Dur pula, tercipta sejarah, yaitu pembuatan Dekrit Presiden yang tidak dipatuhi.

Pembuatan dekrit inilah yang membuat Gus Dur dianggap melanggar sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Alasannya mudah, karena dalam dekrit tersebut Gus Dur membubarkan DPR/MPR dan meminta rakyat untuk mengambil alih kekuasaan. Artinya, tidak ada lagi permusyawaratan/perwakilan, terlepas DPR mungkin kelakuannya seperti yang disebut Gus Dur, mirip anak TK.
Megawati dan Sila Kelima

Megawati selalu mengklaim bahwa ia dan partainya membela wong cilik, sebutan untuk rakyat jelata. Namun, klaim kadang sulit dibuktikan ketika berhadapan dengan kenyataan. Pada masa pemerintahannya, Indosat dijual ke perusahaan multinasional asal Singapura. Alhasil, Megawati dianggap melanggar sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia karena kebijakannya justru tidak prorakyat.

Terakhir, presiden Indonesia saat ini adalah SBY. Ada guyonan, mungkin saja SBY mematuhi semua sila dalam Pancasila. Atau mungkin sebaliknya. Justru SBY sebagai presiden keenam, tidak tanggung-tanggung, melanggar semua sila tersebut.Wallahu’alam hanya dia dan Allah yang tahu,,,



Pimpinan DPR = Pengurus BEM


Teringat ketika aku merasakan kebebasan pelajar sebagai status mahasiswa, tiada lagi seragam, tiada lagi aturan, tiada lagi kedisiplinan, dan inilah surge bagi kaum pelajar, BEBAS dan MERDEKA!!.
Realita yang terjadi saat ini, bumi pertiwi sedang di ambang persimpangan jalan, bahkan burung garuda telah kehilangan satu sayapnya, betapa tidak, kita bisa melihat itu semua dari sosok para pimpinan kita, pimpinan yang kita pilih secara langsung, para pemimpin terhormat yang kehilangan wibawahnya secara jelas, nampak oleh mata telanjang. Mungkin sampai saat ini hanya terdapat segelintir dari puluhan pimpinan yang benar-benar amanah dan tanggung jawab, selebihnya non sense. Tak usah menilik jauh-jauh, lihatlah para pimpinan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tercinta, namanya saja sudah terdapat embel-embel rakyatnya, otomatis mereka adalah ujung tombak dan garda depan rakyat, pastinya suara mereka adalah suara kita, namanya juga perwakilan rakyat.
Melihat realita yang terjadi beberapa minggu ini, ternyata statement di atas, ibarat pasir yang di tebas oleh angin, gaji yang tetap mengalir, meski mangkir kala apat. Kebijakan yang mereka tetapkan, justru menindas rakyat, bahka perilaku mereka saat ini lebih terlihat layaknya mahasiswa atau pelajar putih abu-abu.” Absen penuh tapi tak nampak batang hidungnya”, ya seperti dalam dunia perkuliahan terdapat istilah “TA” (Titip Absen), ingin tertawa terbahak-bahak rasanya, ternyata budaya rapat OSIS atau rapat BEM mereka bawa di dalam  majelis nasional sekelas rapat DPR dengan suka cita, seperti istilah bapak Ketua DPR RI; “absen bodong”. Baha\kan ketika sesuatu yang baik diusulkan, maka dengan 1001 alasannya mereka kompak untuk menolak. “Daripada kita sibuk memikirkan mesin absensi, mending kita konsen masalah papua, mesin absensi pasti menghabiskan pengeluaran negara yang banyak lagi”, begitulah alasan-alasan para pimpinan DPR yang imutdan manis yang sering TA.
Lebih cepat dan lebih baik kita menyelesaikan akhlaq para pimpinan rakyat terhormat. Sudah saatnya ketegasan dan kebenaran kembali ditegakkan di atas bumi pertiwi, mengingat Indonesia adalah negara hokum, asas Pancasila adalah pedoman NKRI, bukan buku 1001 tikus bersembunyi.Ingat akan ideologi bangsa dan negara.
                                                     (eks.seharusnya mereka berani menutup muka)

Demokrasi ditengah problematika Indonesia



 Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik, yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung maupun perwakilan. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani “democratia”, yang ber-arti “demos” rakyat, dan “kratos” kekuasaan. Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui  kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, UUD 1945 memberikan gambaran bahwa Indonesia adalah negara yang demokrasi. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956, tetapi Soekarno tidak menyetujui hal itu melihat penerapan sistem yang tidak sesuai dengan filsafah demokrasi yang sesungguhnya, demokrasi menurut Soekarno, tidak mementingkan rakyat secara keseluruhan, tetapi hanya rakyat yang besar saja yang diperhatikan, oleh karena itu Soekarno tidak menyetujui pada waktu itu. Semenjak reformasi tahun1998, pelaksanaan demokrasi di Indonesia megalami banyak tantangan dan hambatan. Kecendrungan yang terjadi adalah memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap gerakan demokrasi yang saat ini dilaksanakan. Bahkan kecendrungan masyarakat bawah merindukan kembalinya situasi dan kondisi seperti pada orde baru. Tidak dapat dipungkiri memang demokratisasi yang dilaksanakan di Indonesia saat ini hanya dinikmati oleh mereka; elite-elite tertentu yang menguasai sumber-sumber daya masyarakat, mereka yang mempunyai uang dan menggunakan model politik “Wani Piro”,  sehingga hal inilah yang membuat masyarakat menjadi tidak percaya kepada demokrasi saat ini.
Demokrasi di Indonesia, masalah yang terjadi lebih dari sekedar ketidakjelasan laju transisi, dan yang paling mendasar adalah hilangnya substansi demokrasi, atau bisa disebut juga dengan “Roh Demokrasi”. Roh didalam konteks ini tidak sekedar berbicara tentang keadilan, kesejahteraan, kedaulatan rakyat atau pun kesetaraan, tetapi juga visi, keyakinan dan komitmen untuk berbakti kepada publik. Fenomena ini terjadi ketika masa pemilu 2005 dan 2009, ketika banyak masyarakat yang menyuarakan suara golput. Demokrasi di Indonesia mengalami degradasi mutu pada pemilu 2009, degradasi terkait kepemimpinan yang kurang tanggap dengan tuntutan dan tantangan politik yang ada, oleh karena itu dapat disimpulkan terdapat dua alasan terkait degradasi kualitas demokrasi.
Pertama, sirkulasi elite yang tidak berlangsung secara natural dan demokratis. Natural artinya selaras dengan tuntutan dan tantangan di tengah lingkumgan politik, demokratis artinya pergantian terbuka terhadap siapa pun yang berkualitas. Dominasi elite lama dan perekrutan anggota keluarga ke dalam posisi-posisi strategis dalam partai menjadi realita bahwa sirkulasi politik masih terbatas di lingkaran sentral kekuasaan. Kedua, para elite gagal merumuskan definisi yang jelas tentang ideologi, demokrasi masih ditafsirkan secara tekstual. Indonesia tidak sedang dalam “Momen Machiavelli”. Kita sudah 64 tahun berdemokrasi, tapi realitanya condong mengkekalkan strategi Machiavellian temporal, para elite secara tidak langsung menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan yang ada, tidak heran ketika akhir-akhir ini kasus mafia hukum dan korupsi menjadi populer di bumi pertiwi ini.
Sistem demokrasi di Indonesia sedang ada di persimpangan jalan, semua berawal dari elite yang hanya mendalami demokrasi secara tekstual, sistem demokrasi dikemas sedemikian rupa sehingga tampak bagus dan memberikan pengharapan, tetapi dalam  realita yang terjadi di negeri ini justru banyak penipuan dan kebohongan.
Seperti kata pepatah, “Where there is the will, there is the way”, (dimana ada kemauan di sana ada jalan), tidak ada kata terlambat untuk kembali membangun kepercayaan, perlu adanya kembali penanaman dan penerapan ideologi Pancasila secara menyeluruh, karena kelima sila tersebut mempunyai essensi yang mencakup kehidupan suatu negara, memodifikasi sitem demokrasi dan sistem permusyawaratan yang ada. Kejujuran dan tanggung jawab seorang pemimpin yang nantinya akan membangun kepercayaan rakyat. Indonesia Bisa.

Resume: Bangsa dan Negara


Proses Pembentukan Bangsa – Negara dan Faktor Pembentukan Identitas
Bersama
Suatu negara itu terbentuk karena adanya pengelompokkan masyarakat atas dasar kesamaan, dan juga adanya struktur kekuasaan yang memerintahnya, semua itu dilakukan agar dapat bertahan lama dan mampu mencapai tujuan yang telah disepakati dalam suatu ideoilogi negara tersebut.
Menurut ilmuwan politik dari Universitas Cornell, Ben Anderson merumuskan bahwa; “bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan dalam wilayah yang batasnya jelas dan berdaulat”. Sebagai komunitas politik yang dibayangkan karena suatu bangsa yang paling kecil pun sudah pasti para anggotanya tidak mengenal satu sama lain, padahal mereka didalam wilayah yang sama. Sebagai bangsa yang terbatas, karena suatu bangsa yang besar pun, yang relative penduduknya berjuta-juta jiwa, otomatis mempunyai batas wilayah yang jelas. Sebagai bangsa yang berdaulat, karena suatu bangsa berada diruang lingkup negarayang memiliki kekuasaan, dan sebagai komunitas yang dibayangkan, karena dalam suatu bangsa pasti nantinya akanterjadi suatu problematika, meskipun terdapat masalah, para anggota bangsa masih menganggap satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah.
Terdapat dua model proses pembentukan bangsa-negara yaitu; Model ortodoks dan Model mutakhir. Yang perttama yaitu; Model ortodoks, model ini lahir ketika terdapat suatu bangsa terlebih dahulu, dan kemudian hari bangsa tersebut membentuk satu negara sendiri, dan setelah bangsa-negara ini tebentuk lahirlah suatu rezim poltik yang telah dirumuskan dan ditetapkan, dan nantinya menjadi pedoman masyarakat dalam menjalankan kehidupan bangsa-negara. Yang kedua yaitu; Model Muttakhir, lahir ketika terbentuknya suatu negara yang melalui proses sendiri, sedangkan penduduknya merupakan kumpulan dari suku bangsa dan ras.
Kedua model diatas memiliki perbedaan dalam empat hal. Pertama, ada tidaknya perubahan unsur dalam pengelompokkan masyarakat. Model ortodoks tidak mengandung perubahan unsur, sedangkan model mutakhir mengandung perubahan unsure. Kedua, waktu yang diperlukan dalam proses pembentukan bangsa-negara. Model ortodoks memrlukan waktu untuk membentuk struktur kekuasaan, model mutakhir memerlukawaktu untuk mencapai kesepakatan tentang identitas kultural yang baru. Ketiga, kesadaran politik dalam ortodoks muncul setelah bangsa-negara terbentuk, model mutakhir muncul mendahului pada kondisi awal terbentuknya bangsa-negara. Keempat, ukuran pentingnya partisipasi politik dan rezim politik.
Kedua model diatas mengandung tiga kekurangan pokok; memandang proses pembentukan bangsa-negara dari sudut kemajemukan suku bangsa saja, faktor historis yang  berkaitan dengan pengalaman penjajahan, dalam faktanya tidak hanya terdapat dua model saja, tetapi terdapat model ketiga yang dialami  Indonesia, proses lahirnya bangsa baru, yang terjadi jauh sebelum negara terbentuk.
Faktor-faktor yang menjadi identitas bersama masyarakat meliputi; Primordial, suatu ikatan yang kuat dan kesamaan suku, bangsa, dan bahasa yang dalam hal ini dapat melahirkan pandangan yang sama tentang apa yang menjadi cita-cita suatu masyarakat dan negara. Sakral, ajaran didalam suatu agama dan ideologi doktriner, tergambarkan bagaimana suatu masyarakat dalam menjalani kehidupan. Tokoh, digambarkan sosok pemimpin yang merakyat dan mengerti apa kebutuhan rakyat, pemimpin menjadi sosk panutan, karena sebagai contoh bagi masyarakat. Sejarah, pengalaman masa lalu, perjuangan pejuang dalam mendapatkan kemerdekaan, adalah faktor dimana bangsa ini lahir, konsep sejarah pun di bentuk dalam simbol-simbol dan pendidikan formal di dunia pendidikan. Bhineka Tunggal Ika, suatu prinsip pemersatu bangsa, ketika terjadi perbedaan, dan akan lahir kesetiaan masyarakat pada suatu negara, prinsip ini dapat diaplikasikan dalam masyarakat yang anggotanya memiliki kesadaran hukum dan nilai demokrasi yang tinggi. Perkembangan Ekonomi, salah satu alat pemersatu bangsa adalah rasa solidaritas. Solidaritas lahir dari saling bergantungnya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, diiringi dengan adanya aneka macam pekerjaan di dalam perkembangan ekonomi. Kelembagaan, bertujuan untuk mempertemukan instansi pemerintah dengan suara rakyat, sehingga dapat tercipta suatu kepentingan nasional yang bersifat impersonal, tidak adanya perbedaan dalam melayani warga negara.

v  Ideologi Nasional
Islam mempunyai rukun islam dan rukun iman, yang didalamnya termasuk dalam pondasi agama, begitupun juga dengan suatu negara, yang sejak terbentuknya di tuntut untuk mempunyai suatu ideologi yang memprakarsai negara itu berdiri. Ideologi ialah suatu rumusan atau gagsan negara yang didalamnya berisi tentang tujuan dan cita-cita masyarakat dan juga cara yang baik untuk mencapai tersebut.
Terdapat dua fungsi ideologi dalam masyarakat: Pertama, menjadi tujuan dan cita-cita yang hendak dicapai bersama oleh masyarakat, ideologi menjadi pedoman. Kedua, sebagai pemersatu masyarakat, menjadi cara dalam menyelesaikan konlflik yang terjadi di masyarakat. Dalam masyarakat majemuk, yang didalamnya terdapat suatu kelompok budaya seperti, ras, suku, agama. Setiap kelompok memiliki landasan untuk memajukan kepentingan yang berbeda-beda. Dalam hal ini ideologi nasional berperan sebagai consensus berbagai kelomnpok dan kepentingan golongan. Oleh karena itu masyarakat mejemuk menjadikan dasar 5 sila sebagai ideologi asional, sedangkan nilai seperti; Individualisme, komunismne, tidak dijadikan ideologi nasional, karena tidak tepat dengan karateristik masyarakat.

v  Negara: Sistem Dominasi dan Konsensus
Suatu negara mempunyai dua sistem, yaitu; sistem dominasi dan sistem konsensus. Negara bersifat dominatif, karena negara mendukung dan menguasai hubungan-hubungan dominasi yang mewakili komponen masyarakat yang dominan. Hubungan seperti ini dijalankan melalui institusi-institusi seperti; Polisi, Birokrasi, dan hukum. Dalam hal ini negara juga menggunakan sistem konsensus, karena kedudukan negara untuk menyelesaikan kepentingan umum dalam basis legitimasi dengan menggunakan kesepakatan bersama. Peranan negara mendapat apresiasi oleh masyartakat, karena negara berkedudukan menjadi mediasi. Hak politik warga negara, terwujud dalam 3 hal yaitu; Hak memilih dalam pemilu, hak menyatakan pendapat dan berasosiasi, hak mendapatkan perlindungan hokum dari lembaga negara. Olek karena itu suatu negara dapat mempertahankan kekuasan tidak hanya dengan kekuatan fisik, melainkan perlu adanya persetujuan dari pihak rakyat.

Di ambil dari: Buku Pengantar Ilmu Politik (Ramlan Subakti,2009)

Menanggapi Politik ala Nicollo Machiaveli


        Sebelum menanggapi tentang politik Machiavelli, lebih lazim untuk kita mengetahui tentang siapa itu Niccolo Machiavelli dan ada apa dengan teori politik Machiavelli, yang sempat membuat gencar politik internasional.
Nicollo Machiavelli adalah seorang diplomat dan politikus dari Italia, selama karir di bidang politik, dia lebih dikenal dengan karya bukunya yang kedua yaitu Il Principe (Sang Pangeran), di dalam buku tersebut dijelaskan tentang tindakan yang harus dilakukan seorang penguasa untuk mempertahankan kekuasaan. Pada awalnya buku ini ditulis sebagai harapan Machiavelli  untuk memperbaiki situasi pemerintahan di Italia Utara, karena pada saat itu wilayah Italia Utara menjadi ajang perebutan antara Spanyol dan Prancis. Melihat kondisi tersebut Machiavelli melayangkan pesan untuk Pangeran Medici agar mempertahankan daerah kekuasaanya dengan segala cara.
Di dalam buku Il Principe, Machiavelli mengatakan; Harus diingat bahwa manusia harus dicintai atau dihancurkan, mereka akan menuntut balas dendam atas luka ringan mereka, namun mereka tidak akan dapat melakukan hal serupa apabila mereka terluka parah. Oleh karena itu, luka yang kita sebabkan haruslah sebesar-besarnya sehingga kita tidak harus takut akan balasan mereka.” Di halaman lain Machiavelli kembali menulis, “Sebenarnya, tidak ada metode yang paling pasti dalam mempertahankan sebuah daerah kecuali dengan menghancurkan daerah tersebut. Dan siapapun yang menjadi penguasa dari sebuah kota yang bebas dan tidak menghancurkan kota tersebut, hanya dapat berharap akan kehancuran mereka sendiri karena penduduk kota tersebut akan selalu dapat menemukan sebuah motif untuk memberontak,”. Dari kutipan di atas dapat di ambil kesimpulan, bahwasanya ketika seorang pemimpin ingin menguasai suatu negara hanya ada 2 pilihan yaitu; dicintai atua dihancurkan. Dicintai apabila rakyat sedang dibutuhkan oleh pemerintah dan dihancurkan apabila mereka menentang dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dari sinilah Machiavelli dikenal dengan sosok seorang yang kejam, jahat, ibarat iblis.
Negara Indonesia adalah negara yang menganut paham Demokrasi, dimana paham demokrasi ialah suatu sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat untuk rakyat , baik secara langsung atau pun dengan perwakilan. Namun dalam aktualisasinya, pemerintah Indonesia hanya mengaplikasikan sistem demokrasi tersebut ketika masa pemilu, setelah itu demokrasi hanya dirasakan oleh para penguasa negara saja. Secara tidak langsung, praktik pemerintahan Indonesia kini, telah mengarah kepada paham politik Machiavelli.
Fakta berbicara sejak zaman reformasi, Indonesia telah mengalami banyak permasalahan politik, seperti halnya korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela di kalangan pejabat negara. Banyak diantara mereka yang mangkir bekerja, dan penyelewengan-penyelewengan kekuasaan yang lain. Bahkan  banyak diantara politikus Indonesia rela menghamburkan jutaan bahkan milyaran rupiah untuk memperebutkan dan mempertahankan kedudukan dalam kekuasaan, dan saat ini manusia hidup  tanpa diiringi dengan etika atau moral, karena sebagian besar dari mereka melihat kehidupan berdasarkan kebutuhan.
Masalah yang muncul saat ini, bukan hanya terjadi di kalangan internal pemerintah, melainkan masyarakat sudah berani memberi respon tentang jalannya pemerintahan. Maraknya kasus terorisme, lahirnya kembali paham-paham komunis, pemberontakan di kalangan masyarakat, bahkan ada beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Melihat dari beberapa contoh kasus politik di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia saat ini, secara tidak sadar telah sedikit menerapkan apa yang telah diilhami dari paham politik Machiavelli, mereka (para penguasa negara) telah menghalalkan segala cara untuk mempertahankan tahta kekuasaan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang telah membeli nilai kejujuran. Dari sinilah sedikit demi sedikit telah nampak kehancuran Indonesia akibat para pemimpin negara yang telah menyalahgunakan amanah kepemimpinan.
Sebenarnya tujuan menghalalkan cara dapat ditelusuri dari sudut pandang Machiavelli. Melihat dalam konteks logika kebutuhan  dimana cara tersebut dapat digunakan untuk mencapai tujuan atau mempertahankan kekuasaan, seperti; mempertahankan rakyat dan keutuhan bangsa dari serangan lawan.
Pendapat Machiavelli termasuk dalam kategori extreme, dan terdapat kesalahan pada  orang-orang terdahulu yang menafsirkannya secara tekstual saja, sehingga sampai saat ini namanya selalu diasosiasikan penuh liku-liku, dan kejam
Politik dalam Islam dimaknai sebagai salah satu cara untuk beribadah kepada Allah, sehingga dalam pandangan ini politik memiliki nilai-nilai spritualitas. Kepemimpinan politik salam Islam dimaknai sebagai kepemimpinan dua dimensi yaitu dunia dan akhirat, sebagaimana yang dinyatakan Imam Ghazali, bahwa Islam dan negara adalah ibarat dua saudara kembar, Islam adalah aqidah spiritual dan aqidah siyasah sekaligus. Dalam kitabnya, Al Iqtishod fi Al I’tiqod Imam Ghazali mengatakan, “Karena itu dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap”.

Ulama yang lain yang berpendapat tentang kepemimpinan politik Islam adalah Al Baqillani , menurut beliau kepemimpinan dalam Islam harus ada karena beberapa hal yang tidak bisa ditolak, diantara lain :
1. Untuk mengatur tentara guna membentengi ummat dari serangan musuh
2. Untuk mengawasi ummat baik yang dhalim (berbuat kriminal) atau yang madhum (yang didhalimi)
3. Untuk menegakkan hukum
4. Untuk membagi harta rampasan (fa’i) kepada ummat Islam
5. Untuk mengamankan kaum muslimin dalam ibadah haji dan menyiapkan tentara guna mengawasi musuh

Bagaimanakah Islam memandang karakter pemimpin negara, apakah terdapat perbedaan yang signifikan dengan yang disampaikan oleh Machiavelli di atas, penulis mencoba mengambil pendapat Al Farabi , seorang ulama muslim klasik yang memiliki kriteria-kriteria orang yang menjadi pimpinan utama negara, beberapa diantaranya yang penting adalah :
1. Cinta terhadap ilmu pengetahuan, dapat mengambil manfaat (hikmah) dari apa yang diketahui dan dirasakannya, suka dikritik, mudah menerima saran, tidak pernah bosan belajar dan tidak mudah bosan dengan pekerjaan yang dijalaninya
2. Terpelihara dari hal-hal yang tidak tidak baik (tidak halal) apa yang dimakan, diminum dan dinikahi, jauh dari sifat main-main, benci terhadap kenikmatan-kenikmatan sesaat
3. Jujur, mencintai kejujuran dan orang-orang yang jujur, membenci kebohongan dan orang-orang yang bohong
4. Terhormat, tidak mudah tergoda oleh dirham dan dinar (uang dan harta benda lainnya) dan segala sesuatu yang bersifat duniawi yang rendah dan hina di hadapannya
5. Adil dan mencintai keadilan dan orang-orang yang berbuat adil, benci kecurangan dan aniaya beserta para pelakunya
6. Pemberani, memiliki motivasi yang kuat terhadap sesuatu yang dalam pandangannya baik, penuh tanggung jawab, pemberani dan tidak lemah jiwanya

Politik dalam Renungan
Setelah penulis mencoba melihat kembali bagaimana dua pandangan akan kepemimpinan, politik, kekuasaan dan penguasa. Penulis menilai bahwa Machivelian dalam berpolitik bukanlah sebuah sikap politik yang harus diambil oleh para pemimpin atau penguasa kontemporer. Penulis menilai logika tanggung jawab adalah sesuatu yang harus dikedepankan dalam berpolitik. Bagi penulis, manusia terikat oleh dua kondisi yaitu tanggung jawab secara horizontal-kepada sesama manusia- dan tanggung jawab vertikal-kepada Allah SWT-. Kondisi biresponsibility ini gagal diterjemahkan oleh konsep politik sekuler yang hanya melihat satu dimensi dari aktivitas berpolitik yaitu dimensi duniawi an sich, sehingga para penguasa tidak merasa memiliki tanggung jawab vertikal kepada Allah, dan diterjemahkan secara vulgar dalam berpolitik dengan menghalalkan segala cara, penipuan, pembunuhan, dan pemerasan

Seharusnya politik kembali dijalankan dengan nurani yang bersumber kepada wahyu-wahyu Ketuhanan yang benar. Karena pada hakikatnya politik adalah salah satu ekspresi manusia beribadah kepada Tuhan, yang diterjemahkan dalam sebuah aktivitas pelayanan kepada rakyat, bukannya menjadi sebuah alat menjatuhkan manusia dalam kebinasaan.