Sebelum menanggapi tentang politik Machiavelli, lebih lazim untuk kita mengetahui tentang siapa itu Niccolo Machiavelli dan ada apa dengan teori politik Machiavelli, yang sempat membuat gencar politik internasional.
Nicollo Machiavelli adalah seorang diplomat dan politikus dari Italia, selama karir di bidang politik, dia lebih dikenal dengan karya bukunya yang kedua yaitu Il Principe (Sang Pangeran), di dalam buku tersebut dijelaskan tentang tindakan yang harus dilakukan seorang penguasa untuk mempertahankan kekuasaan. Pada awalnya buku ini ditulis sebagai harapan Machiavelli untuk memperbaiki situasi pemerintahan di Italia Utara, karena pada saat itu wilayah Italia Utara menjadi ajang perebutan antara Spanyol dan Prancis. Melihat kondisi tersebut Machiavelli melayangkan pesan untuk Pangeran Medici agar mempertahankan daerah kekuasaanya dengan segala cara.
Di dalam buku Il Principe, Machiavelli mengatakan; “Harus diingat bahwa manusia harus dicintai atau dihancurkan, mereka akan menuntut balas dendam atas luka ringan mereka, namun mereka tidak akan dapat melakukan hal serupa apabila mereka terluka parah. Oleh karena itu, luka yang kita sebabkan haruslah sebesar-besarnya sehingga kita tidak harus takut akan balasan mereka.” Di halaman lain Machiavelli kembali menulis, “Sebenarnya, tidak ada metode yang paling pasti dalam mempertahankan sebuah daerah kecuali dengan menghancurkan daerah tersebut. Dan siapapun yang menjadi penguasa dari sebuah kota yang bebas dan tidak menghancurkan kota tersebut, hanya dapat berharap akan kehancuran mereka sendiri karena penduduk kota tersebut akan selalu dapat menemukan sebuah motif untuk memberontak,”. Dari kutipan di atas dapat di ambil kesimpulan, bahwasanya ketika seorang pemimpin ingin menguasai suatu negara hanya ada 2 pilihan yaitu; dicintai atua dihancurkan. Dicintai apabila rakyat sedang dibutuhkan oleh pemerintah dan dihancurkan apabila mereka menentang dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dari sinilah Machiavelli dikenal dengan sosok seorang yang kejam, jahat, ibarat iblis.
Negara Indonesia adalah negara yang menganut paham Demokrasi, dimana paham demokrasi ialah suatu sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat untuk rakyat , baik secara langsung atau pun dengan perwakilan. Namun dalam aktualisasinya, pemerintah Indonesia hanya mengaplikasikan sistem demokrasi tersebut ketika masa pemilu, setelah itu demokrasi hanya dirasakan oleh para penguasa negara saja. Secara tidak langsung, praktik pemerintahan Indonesia kini, telah mengarah kepada paham politik Machiavelli.
Fakta berbicara sejak zaman reformasi, Indonesia telah mengalami banyak permasalahan politik, seperti halnya korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela di kalangan pejabat negara. Banyak diantara mereka yang mangkir bekerja, dan penyelewengan-penyelewengan kekuasaan yang lain. Bahkan banyak diantara politikus Indonesia rela menghamburkan jutaan bahkan milyaran rupiah untuk memperebutkan dan mempertahankan kedudukan dalam kekuasaan, dan saat ini manusia hidup tanpa diiringi dengan etika atau moral, karena sebagian besar dari mereka melihat kehidupan berdasarkan kebutuhan.
Masalah yang muncul saat ini, bukan hanya terjadi di kalangan internal pemerintah, melainkan masyarakat sudah berani memberi respon tentang jalannya pemerintahan. Maraknya kasus terorisme, lahirnya kembali paham-paham komunis, pemberontakan di kalangan masyarakat, bahkan ada beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Melihat dari beberapa contoh kasus politik di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia saat ini, secara tidak sadar telah sedikit menerapkan apa yang telah diilhami dari paham politik Machiavelli, mereka (para penguasa negara) telah menghalalkan segala cara untuk mempertahankan tahta kekuasaan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang telah membeli nilai kejujuran. Dari sinilah sedikit demi sedikit telah nampak kehancuran Indonesia akibat para pemimpin negara yang telah menyalahgunakan amanah kepemimpinan.
Sebenarnya tujuan menghalalkan cara dapat ditelusuri dari sudut pandang Machiavelli. Melihat dalam konteks logika kebutuhan dimana cara tersebut dapat digunakan untuk mencapai tujuan atau mempertahankan kekuasaan, seperti; mempertahankan rakyat dan keutuhan bangsa dari serangan lawan.
Pendapat Machiavelli termasuk dalam kategori extreme, dan terdapat kesalahan pada orang-orang terdahulu yang menafsirkannya secara tekstual saja, sehingga sampai saat ini namanya selalu diasosiasikan penuh liku-liku, dan kejam
Politik dalam Islam dimaknai sebagai salah satu cara untuk beribadah kepada Allah, sehingga dalam pandangan ini politik memiliki nilai-nilai spritualitas. Kepemimpinan politik salam Islam dimaknai sebagai kepemimpinan dua dimensi yaitu dunia dan akhirat, sebagaimana yang dinyatakan Imam Ghazali, bahwa Islam dan negara adalah ibarat dua saudara kembar, Islam adalah aqidah spiritual dan aqidah siyasah sekaligus. Dalam kitabnya, Al Iqtishod fi Al I’tiqod Imam Ghazali mengatakan, “Karena itu dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap”.
Ulama yang lain yang berpendapat tentang kepemimpinan politik Islam adalah Al Baqillani , menurut beliau kepemimpinan dalam Islam harus ada karena beberapa hal yang tidak bisa ditolak, diantara lain :
1. Untuk mengatur tentara guna membentengi ummat dari serangan musuh
2. Untuk mengawasi ummat baik yang dhalim (berbuat kriminal) atau yang madhum (yang didhalimi)
3. Untuk menegakkan hukum
4. Untuk membagi harta rampasan (fa’i) kepada ummat Islam
5. Untuk mengamankan kaum muslimin dalam ibadah haji dan menyiapkan tentara guna mengawasi musuh
Bagaimanakah Islam memandang karakter pemimpin negara, apakah terdapat perbedaan yang signifikan dengan yang disampaikan oleh Machiavelli di atas, penulis mencoba mengambil pendapat Al Farabi , seorang ulama muslim klasik yang memiliki kriteria-kriteria orang yang menjadi pimpinan utama negara, beberapa diantaranya yang penting adalah :
1. Cinta terhadap ilmu pengetahuan, dapat mengambil manfaat (hikmah) dari apa yang diketahui dan dirasakannya, suka dikritik, mudah menerima saran, tidak pernah bosan belajar dan tidak mudah bosan dengan pekerjaan yang dijalaninya
2. Terpelihara dari hal-hal yang tidak tidak baik (tidak halal) apa yang dimakan, diminum dan dinikahi, jauh dari sifat main-main, benci terhadap kenikmatan-kenikmatan sesaat
3. Jujur, mencintai kejujuran dan orang-orang yang jujur, membenci kebohongan dan orang-orang yang bohong
4. Terhormat, tidak mudah tergoda oleh dirham dan dinar (uang dan harta benda lainnya) dan segala sesuatu yang bersifat duniawi yang rendah dan hina di hadapannya
5. Adil dan mencintai keadilan dan orang-orang yang berbuat adil, benci kecurangan dan aniaya beserta para pelakunya
6. Pemberani, memiliki motivasi yang kuat terhadap sesuatu yang dalam pandangannya baik, penuh tanggung jawab, pemberani dan tidak lemah jiwanya
Politik dalam Renungan
Setelah penulis mencoba melihat kembali bagaimana dua pandangan akan kepemimpinan, politik, kekuasaan dan penguasa. Penulis menilai bahwa Machivelian dalam berpolitik bukanlah sebuah sikap politik yang harus diambil oleh para pemimpin atau penguasa kontemporer. Penulis menilai logika tanggung jawab adalah sesuatu yang harus dikedepankan dalam berpolitik. Bagi penulis, manusia terikat oleh dua kondisi yaitu tanggung jawab secara horizontal-kepada sesama manusia- dan tanggung jawab vertikal-kepada Allah SWT-. Kondisi biresponsibility ini gagal diterjemahkan oleh konsep politik sekuler yang hanya melihat satu dimensi dari aktivitas berpolitik yaitu dimensi duniawi an sich, sehingga para penguasa tidak merasa memiliki tanggung jawab vertikal kepada Allah, dan diterjemahkan secara vulgar dalam berpolitik dengan menghalalkan segala cara, penipuan, pembunuhan, dan pemerasan
Seharusnya politik kembali dijalankan dengan nurani yang bersumber kepada wahyu-wahyu Ketuhanan yang benar. Karena pada hakikatnya politik adalah salah satu ekspresi manusia beribadah kepada Tuhan, yang diterjemahkan dalam sebuah aktivitas pelayanan kepada rakyat, bukannya menjadi sebuah alat menjatuhkan manusia dalam kebinasaan.