Maraknya terjadi penggusuran di daerah perkotaan Indonesia
Penggusuran adalah pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tak langsung yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunakan sumber-daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha.
Penggusuran terjadi di wilayah urban, karena keterbatasan dan mahalnya lahan. Di wilayah rawanl penggusuran biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti misalnya bendungan, atau peusahaan-perusahaan besar.
Di kota besar, penggusuran kampung miskin menyebabkan rusaknya jaringan sosial pertetanggaan dan keluarga, merusak kestabilan kehidupan keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta melenyapkan aset kehidupan. Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki penghidupan. Dialog dan negosiasi dengan pihak atau masyarakat terkait dilakukan untuk menghindari penggusuran.Akan tetapi, penggusuran adalah hal yang mutlak untuk menanggulangi penduduk liar. Hal ini karenakan mereka sama sekali tidak membayar tanah. Dan mereka harus dipulangkan ke daerah asalnya, seperti transmigrasi.
Dari pelbagai macam penggusuran yang pernah dilakukan pemerintah di Jakarta, model penyelesaian dengan memulangkan ke kampung bagi warga yang tak punya KTP Jakarta, dan menempatkan ke rumah susun sewa (rusunawa) bagi yang punya KTP Jakarta, selalu dijadikan resep utama. Seperti misalnya pada akhir tahun 2007 lalu ketika terjadi penggusuran besar-besaran pemukiman rakyat miskin di kolong tol, Jakarta Utara. Mereka yang mempunyai KTP Jakarta diminta pindah ke rumah susun (rusun) Marunda dan Kapuk Muara, sedang yang tidak punya KTP Jakarta hanya diberi uang kerohiman dan diminta untuk pulang kampung. Tetapi apa akhirnya yang terjadi? Yang dipulangkan ke kampung kembali lagi ke Jakarta, sedang yang dipindahkan ke rumah susun banyak yang keluar dan kembali menempati wilayah-wilayah informal, bahkan ada yang kembali ke kolong tol.
Pemindahan warga miskin yang mengalami penggusuran ke rumah susun telah terbukti gagal dalam mengatasi masalah perumahan, dan secara umum juga gagal mengatasi masalah kemiskinan perkotaan. Beberapa kajian tentang rumah susun di Jakarta telah menyimpulkan bahwa banyak sekali rumah susun yang awalnya diperuntukkan bagi warga miskin, khususnya korban penggusuran, telah beralih penghuni. Peralihan penghuni tersebut disebabkan biaya sewa dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya yang tidak terjangkau oleh penghuni yang memang pendapatannya rendah dan tidak menentu. Faktor lain adalah jauhnya lokasi rusun dari tempat kerja selama ini, sebelum mengalami penggusuran. Padahal bagi rakyat miskin kota, kedekatan dengan tempat kerja menjadi faktor utama dalam memilih tempat tinggal. Jika pun tidak dekat, tempat tinggal tersebut bisa digunakan sebagai ruang produksi untuk mendapatkan penghasilan. Rumah atau tempat tinggal bagi rakyat miskin kota seringkali menjadi bagian dari usaha ekonomi, bagian dari siasat menghadapi kemiskinan. Sedangkan rumah susun seringkali tidak feasible bagi rakyat miskin kota yang bergelut dalam usaha ekonomi informal.
Melihat betapa seriusnya akibat penggusuran dan belum memadainya penyelesaian yang dilakukan pemerintah selama ini, maka dapat kita analisis dan mengambil solusi alternative. Solusi alternatif tersebut harus berpegang pada prinsip-prinsip hak asasi manusia secara sosial, ekonomi, budaya dan teknis.
Secara garis besar, ada dua model penyelesaian bagi masalah penataan permukiman “kumuh” di sepanjang jalur kereta api Kota-Tanjung Priok-Pasar Senen, yakni penataan atau pemindahan. Dari dua model penyelesaian ini membutuhkan pemahaman yang komprehensif terhadap permukiman dan tentu saja warganya. Jika memungkinkan, penataan harus dijadikan pilihan utama. Bagaimana pun, dilihat secara ekonomi, sosial, dan budaya, ongkos penataan akan lebih murah dibandingkan pemindahan. Untuk itu perlu dilihat apa maksud dari penggusuran yang akan dilakukan, dan akan digunakan sebagai apa lahan bekas permukiman warga tersebut. Jika digunakan untuk menambah jalur atau track baru, perlu dilihat seberapa lebar lahan yang dibutuhkan. Juga apakah memang diperlukan pembuatan jalur baru itu. Jika memang dibutuhkan jalur baru, diupayakan tidak harus menggunakan semua lebar lahan yang ada, dan tetap memberi ruang bagi permukiman warga. Dengan demikian, pembuatan jalur baru kereta api dilakukan berbareng dengan penataan permukiman informal yang ditempati warga. Jika tujuan penggusuran tersebut memang sekedar menghilangkan kawasan kumuh di sepanjang jalur kereta, maka ini harus ditentang. Justru yang perlu dilakukan pemerintah adalah menata dan memberikan jaminan keamanan tinggal bagi warga di kawasan tersebut, sehingga kawasan tersebut menjadi permukiman yang layak.
Kalau tidak ada alternatif lain selain relokasi, maka pertama-tama yang perlu dilakukan adalah memilih lokasi yang dekat dengan kawasan sebelumnya. Hal ini untuk menghindari banyaknya warga yang kehilangan pekerjaan, dan anak-anak terganggu pendikannya karena persoalan akses atau biaya transportasi yang mahal. Relokasi yang dilakukan juga harus mengacu pada prinsip-prinsip perumahan yang layak lainnya seperti luasnya cukup dan penghuninya tidak terancam kesehatannya.
Yang menjadi prinsip utama dari semua penyelesaian yang diambil adalah adanya partisipasi penuh dari warga. Warga harus diikutkan dari semua proses atau tahapan, baik jika dilakukan penataan apalagi ketika harus dipindahkan, agar nantinya antara kemauan pemerintah dan keinginan warga, tidak ada yang dirugikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar